Prabowo Subianto adalah anak dari begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo, yang
menikah dengan Dora Sigar. Apabila ditelusuri lebih jauh, Prabowo adalah cucu dari
Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI 46) yang juga
merupakan ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPARI) pertama serta
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, Prabowo adalah keturunan dari Adipati Mrapat,
bupati Kadipaten Banyumas pertama yang salah satu kakek buyutnya adalah Panglima
Laskar Diponegoro untuk wilayah Gowong (Kedu), atau yang lebih dikenal dengan nama
Raden Tumenggung Kertanegara III.
Semasa kecil, Prabowo dididik dengan keras oleh ayah dan ibunya. Hal ini dilakukan
agar ia tumbuh menjadi pribadi yang disiplin dan tegas. Soemitro, ayah Prabowo, mengaku
bahwa dalam mendidik anak, ia menerapkan dua sistem. Pertama, kalau anak meminta
waktu, maka orang tua harus meluangkan. Kedua, orang tua tidak boleh meremehkan anak
seberapa pun nakalnya anak itu. Sementara, Dora, ibu Prabowo, mengaku bahwa dalam
mendidik anak, ia menerapkan sistem diiplin ketat. Tata karma dan etika Belanda diterapkan
Dora dalam mendidik anak, sebagaimana didikan yang ia terima waktu kecil dari kedua
orang tuanya yang sama-sama berpendidikan Belanda.
Prabowo kecil adalah anak yang sangat keras. Sifat kerasnya itu sering terlihat mana
kala ia makan bersama keluarganya di meja makan. Prabowo tidak mau mengikuti tata
karma dan etika yang diajarkan oleh ibunya di meja makan. Karena itu, ketika makan,
tangannya sering kesana kemari dan ia tidak mau melipat serbet diatas pangkuannya.
Sifat kerasnya ini sepertinya diturunkan dari ibunya. Namun, meskipun dikenal sebagai
anak yang keras, Prabowo juga memperlihatkan bahwa ia memiliki gaya berpikir yang
kritis dan bebas yang diturunkan oleh ayahnya.
Setiap harinya, Prabowo juga suka bermain perang-perangan bersama teman-temannya
di halaman belakang rumah. Ketika bermain, ia suka menjadi tokoh baik, seperti tentara
yang menenteng pistol mainan. Bahkan, ia santa serius jika bermain menjadi tentara.
Teman-teman sepermainannya suka meniru gayanya, terlebih terkait cara memegang senjata.
Prabowo pun diminta untuk mengajarkan bagaimana cara memegan senjata yang baik yang
dinilai teman-temannya persis seperti tentara perang. Sifat Prabowo tersebut sepertinya
menunjukkan bahwa ia sangat tertarik dengan dunia militer.
Mengikuti Perjuangan Begawan Ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo
Prabowo kecil mulai diajak pindah keluarganya ke Singapura pada sekitar tahun 1950.
Waktu itu, Des Alwi, sosok yang kemudian menjadi diplomat senior Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia, menemui Dora di Palembang. Ia mengajak Dora serta anak-anaknya,
termasuk Prabowo, untuk pindah ke Singapura karena alasan keamanan.
Des Alwi dan Soemitro adalah sahabat lama sejak mereka masih sama-sama aktif menjadi
pentolan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Des membantu keluarga Soemitro pindah ke
luar negeri karena merasa bahwa keluarga Soemitro harus dilindungi. Selain itu, ia
juga merasa senasib dengan keluarga Soemitro karena sama-sama diburu aparat keamanan
ketika terlibat dalam pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Sementara, Soemitro pada saat itu masih bergabung dengan Permesta dan ia bersama
para petinggi Permesta sedang mempersiapkan deklarasi Permesta yang pada akhirnya
digelar pada tahun 1957. Sebenarnya, selain keluarga Prabowo, ada sekitar sepuluh
keluarga yang diajak Des Alwi untuk pindah ke Singapura, di antaranya adalah keluarga
Tan Goan Po alias Paul Mawira. Paul Mawira ini adalah sahabat Soemitro yang juga
seorang ekonom dan pernah aktif di PSI. Setibanya di Singapura, keluarga-keluarga
pelarian Permesta ini tinggal berdekatan di kawasan Bukit Timah. Keluarga Soemitro
tinggal di Delkeith Road, sementara keluarga Kartodirdjo tinggal di Margoliouth Road.
Pada sekitar tahun 1959, karena sebuah alasan yang tidak disebutkan dalam berita,
keluarga-keluarga pelarian Permesta ini pindah lagi. Sebagian ada yang pindah ke
Penang, Malaysia, sementara sebagian yang lain ada yang pindah ke Hongkong. Keluarga
yang pindah ke Penang adalah keluarga Kartodirdjo. Adapun keluarga yang pindah ke
Hongkong antara lain keluarga Soemitro dan keluarga Des Alwi. Di sana, mereka sudah
disediakan tempat tinggal oleh kolonel Jacob Frederick Warouw yang tak lain adalah
Atase Mliter Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, Cina, yang juga menjabat sebagai
wakil perdana menteri Permesta.
Kolonel Jacob mneyediakan flat-flat kecil yang terdiri dari 3-5 kamar per flatnya
untuk ditempati keluarga Soemitro dan keluarga Alwi. Khusus untuk keluarga Soemitro,
Kolonel Jacob menyediakan flat berkamar tiga yang cukup besar untuk ditempati Soemitro
bersama istrinya, anak perempuannya, dan juga Prabowo.
Selama tinggal di Hongkong, Prabowo suka bermain bersama teman-temannya sepulang
dari sekolah. Kadang, mereka bermain dikawasan perbukitan yang masih berhutan lebat
yang letaknya tidak jauh dari flat. Kadang juga mereka hiking kehutan tersebut, berkemah,
dan meluncur lewat sungai yang ada diatas bukit. Prabowo juga masih sering bermain
perang-perangan bersama teman-temannya. Rupa-rupanya, kesukaannya bermain perang-perangan
tidak bisa ia tinggalkan meskipun ia sekarang tinggal di Hongkong. Bahkan, ketika
Prabowo mengetahui bahwa salah satu teman bermainnya ada yang anak tentara, Prabowo
meminta izin untuk dipinjami bedil milik ayahnya. Menurut teman-temannya semasa di
Hongkong, Prabowo adalah anak yang berani da cenderung cepat marah. Namun, kemarahannya
itu juga cepat hilang.
Satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1960, Prabowo diajak pindah lagi ke Malaysia.
Di sana, ia tinggal bersama keluarganya di daerah Petaling Jaya, Kuala Lumpur. Selama
tinggal di Malaysia, ayah Prabowo dempat membuka pabrik perakitan alat elektronik
merek Preiere dari Perancis. Kala itu, usia Prabowo menginjak sembilan tahun. Ia
pun disekolahkan di Victoria Intitution, sebuah sekolah paling bergengsi di Malaysia.
Tiga tahun kemudian, Prabowo lagi-lagi diajak pindah bersama orang tuanya. Kali ini,
negara yang dituju adalah Swiss. Di sana, Prabowo di sekolahkan di International
School yang terletak di Zurich. Namun, hanya satu tahun Prabowo bersekolah di sana
sebelum akhirnya melanjutkan sekolah menengah atasnhya di American School yang ada
di London, Inggris.
Menjadi Pemuda yang Cerdas dan Berani Berdebat
Pada sekitar tahun 1967, setelah berhasil menamatkan sekolah di American School yang
ada di Inggris, Prabowo diajak orang tuanya kembali ke Indonesia. Ketika itu, usia
Prabowo 21 tahun. Walau masih tergolong muda, tetapi karakter Prabowo sudah terlihat
jelas bahwa ia akan menjadi pemuda yang cerdas dan berani berdebat. Hal ini terlihat
mana kala ia suka bergaul dengan para politikus senior, termasuk juga berdebat dengan
mereka. Tidak hanya itu, Prabowo juga berani berdebat dengan intelektual-intelektual
senior seperti Soe Hok Gie dan Sudjatmoko. Di mata dua intelektual itu, Prabowo adalah
pemuda yang cerdas, cepat memahami persoalan, dan juga berani berdebat. Bahkan, Soe
Hok Gie juga pernah menulis kesan tentang Prabowo ini di buku hariannya.
Dalam kesehariannya, rupa-rupanya Prabowo diketahui sangat gemar membaca buku-buku
politik, di antaranya karya George Mc Turnan Kahin dan karya Leo Tolstoy, sastrawan
Rusia yang banyak menulis buku politik. Selain itu, Prabowo jua diketahui mengagumi
tokoh-tokoh perlawanan, seperti Che Guevara dan Yasser Arafat. Tidak ketinggalan,
gerakan antikolonialisme Mesir yang dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser juga sangat
dikagumi Prabowo. Mungkin, inilah yang menjadi penyebab mengapa selama ini Prabowo
tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan berani berdebat.
Keluarga Pahlawan Reformasi
Dukung Prabowo
Jadi Presiden
Senin, 12 Mei 2014 - 12:57 wib | Rizka Diputra - Okezone
Keluarga pahlawan reformasi Elang Mulia Lesmana, yakni sang ibunda Hira Teti dan
adik Elang, RM Awangga menyatakan dukungannya kepada Prabowo Subianto untuk maju
bertarung menjadi calon presiden di Pilpres 9 Juli nanti.
Prabowo dinilai hanya sebagai korban politik berbagai kasus HAM yang kerap dimanfaatkan
para lawan politiknya.
"Kami mendukung Prabowo karena yakin dengan kemampuan dan ketegasan beliau akan mampu
membawa Indonesia lebih baik dan lebih sejahtera," kata Hera Teti di Jakarta, Senin
(12/5/2014).
Menurut Hera, Prabowo adalah sosok yang diperlukan oleh bangsa saat ini, karena mantan
Danjen Kopassus itu memiliki pengetahuan yang luas dan hubungan internasional yang
mumpuni. "Dengan kemampuan itu akan bisa memperbaiki bangsa kita dari berbagai permasalahan
bangsa," imbuhnya.
Senada dengan sang ibunda, Awangga juga menyatakan simpatinya kepada Prabowo Subianto
karena capres dari Partai Gerindra itu memiliki program-program yang kongkret. "Programnya
sudah jelas untuk memajukan Indonesia," kata dia.
Sebelumnya, Prabowo Subianto telah bertemu dengan keluarga korban Pahlawan Reformasi,
mahasiswa Trisakti korban penembakan 12 Mei 2014, pada Sabtu 10 Mei lalu di Jakarta.
Keluarga korban di antaranya Hira Teti (ibunda Elang Mulia Lesmana), RM Awangga)
adik Elang, Lasmiyati (ibunda Heri Hertanto), dan Karsiah (ibunda Hendriawan Sie).
Pada kesempatan pertemuan tersebut, keluarga korban sempat menyampaikan harapan jika
Prabowo menjadi Presiden RI kelak agar dapat membuat rakyat menjadi lebih sejahtera.
Pada pertemuan itu Prabowo didampingi oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra
Hashim Djojohadokusumo, Wakil Ketua Fadli Zon, Wakil Sekjen Sudaryono dan Koordinator
Prabowo Media Center Budi Purnomo Karjodihardjo. (put)
Comments
Post a Comment